Kamis, 08 November 2012

Prof. V. Bob Sugeng Hadiwinata, Drs., MA., M.Phil., Ph.D: Indonesia Harus Banyak Belajar Dari Kanada



Banyak orang terperangah, ketika Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland, mengumumkan bahwa peraih Nobel Perdamaian 2012 adalah Uni Eropa. Komite itu mengatakan Uni Eropa (UE) layak menerima penghargaan tersebut atas upayanya mempromosikan perdamaian dan demokrasi di Eropa.
Kepala Parlemen Eropa Martin Schulz mengatakan di Twitter, dia “sangat tersentuh, mendapat kehormatan…….UE adalah rekonsiliasi. Itu bisa menjadi inspirasi”. Karya UE menurut Jangland, merepresentasikan “persaudaraan antarbangsa”, yang memenuhi kriteria Hadiah Perdamaian seperti yang disebutkan Alfred Nobel dalam surat wasiatnya tahun1895.
Kamis, 11 November 2012 sekitar pukul 11.30 siang pekan lalu, Elizabeth Shinta, Razan Izazi, dan Anggita Muslimah menemui seorang Professor Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Politik, Gedung 5, Universitas Parahyangan. Bob Sugeng Hadiwinata, yang ditemui di ruang kerjanya, banyak bercerita dan mengemukakan pendapatnya mengenai perdamaian dan tanggapan-tanggapannya Nobel Perdamaian.
Apa arti perdamaian menurut Anda?
Secara konsep itu, peace ada dua macam. Positive peace dan negative peace, yang kita tahu sekarang adalah negative peace dimana perdamaian tercipta karena orang takut pada tekanan internasional, hukum internasional, komunitas internasional, dan lainnya. Yang idealya kita menjalankan positive peace, jadi orang menyerang orang lain tidak berdasarkan motivasi atau emosi semata.
Apakah Indonesia sudah menganut arti perdamaian yang diartikan oleh Anda?
Saya kira banyak, terutama cara kita mendekati, seringkali kita meminimalisir dampak-dampak buruk konflik dengan manajemen saja, tanpa upaya yang lebih serius lagi dalam mengeliminasi konflik yang ada. Misalnya, banyak konflik-konflik yang terjadi dan diselesaikan oleh pemerintah kita. Ada tiga cara penyelesaian konflik, peace making, peace keeping, dan peace building. Kita hanya berhenti pada peace making dan peace keeping, tetapi peace building nya belum dijalankan atau artinya pemulihan setelah konfliknya belum ada.
Ada pernyataan dari salah satu surat kabar di Indonesia, yang mengatakan “Indonesia Pencipta Perdamaian”, apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?
Secara retorik pernyataan tersebut betul. Tapi, kalau kita lihat realitasnya, pertikaian tidak bisa dihindarkan, upaya kita juga dalam menyelesaikan konflik tidak pernah tuntas.
Bagaimana peran anak muda zaman sekarang terhadap perdamaian di Indonesia?
Anak muda zaman sekarang tidak bisa dituntut terlalu banyak perubahan, paling tidak mereka menyadari bahwa peace extremely very important.
Bagaimana tanggapan Anda, atas terpilihnya Uni Eropa sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2012 ini?
Saya tidak melihat inisiatif dan upaya yang konkret dari Uni Eropa dalam menegakkan perdamaian.
Jadi, menurut Anda, Apa yang menyebabkan Uni Eropa bisa terpilih?
Bisa jadi karena image yang diciptakan oleh Uni Eropa, karena mereka sangat konsisten dalam menegakkan perdamaian di manapun di dunia. Mungkin juga salah satu penilaian mereka cara pendekatan Uni Eropa ke Timur Tengah. Menurut saya, seharusnya orang-orang yang terpilih sebagai peraih Nobel Perdamaian itu, berasal dari orang-orang lapangan, di tempat konflik itu terjadi. Saya kira itu lebih baik, daripada orang-orang di balik layar.

Banyak tokoh-tokoh negara di dunia sudah mendapatkan beberapa penghargaan Nobel. Menurut Anda, mengapa sampai saat ini tokoh-tokoh atau ilmuwan di Indonesia belum bisa mendapatkan Nobel?
Ada yang mendekati dan hampir terpilih menjadi peraih Nobel seperti, Pramoedya Ananta Toer dalam bidang Sastra, tetapi karena beban politik yang ada pada beliau, membuat beliau tidak terpilih.
Seorang ilmuwan atau tokoh, jika ingin mendapatkan penghargaan Nobel atas karya yang telah dibuatnya harus didukung dengan institusi-intitusi sains dan pendanaan dari Negara itu sendiri . Menurut Anda, sudah adakah dukungan pemerintah Indonesia untuk para ilmuwan dan tokoh untuk mengarah ke penghargaan Nobel?
Untuk sementara ini sepertinya belum karena banyak upaya-upaya intelektual untuk membangun perdamaian. Ada salah satu tokoh dari Universitas Indonesia (UI) yang dengan susah payah membangun perdamaian di Ambon dan harus terhenti karena masalah pendanaan yang kurang. Hal itu tidak terlepas dari komitmen pemerintah Indonesia yang kurang.
Adakah ambisi dari Anda untuk meraih penghargaan Nobel?
Itu boleh saja. Tapi terkadang dalam Nobel itu ada unsur-unsur yang di luar dugaan kita. Intelektualitas semata saya kira tidak cukup, tapi dampak realitas dalam masyarakat juga harus ada. Dan yang paling utama adalah adanya dukungan dari pemerintah terlebih dahulu.
Apa saja kriteria untuk mendapatkan penghargaan Nobel terutama pada bidang perdamaian?
Pertama, upaya yang konkret dalam menegakkan perdamaian di berbagai tempat di dunia ini. Sekarang ini kriteria yang paling jelas, bagaimana orang atau lembaga bisa melakukan suatu upaya yang bisa menghindari korban manusia yang besar.
Kalau menurut Anda, Siapakah tokoh di Indonesia yang mungkin meraih penghargaan Nobel di bidang perdamaian?
Saya sempat berpikir, kalau Munir itu masih hidup, mungkin dia pantas untuk mendapatkan penghargaan Nobel pada kategori perdamaian. Saya kira dia sangat berpotensi dalam Nobel.

Bagaimana tanggapan anda tentang bentrok di Lampung yang baru-baru ini terjadi?
Kita dalam penyelesaian konflik itu tidak pernah tuntas, di dalam peace building kita tidak pernah menggarap dengan baik. Jadi begini, ketika pertikaian telah selesai kita menganggap pertikaian itu sudah selesai seluruhnya, tetapi kenyataannya itu belum. Hubungan komunikasi antar masyarakat yang pernah berkonflik itu tidak pernah normal lagi dan itu yang harus kita pulihkan.
Menurut Anda, Negara mana yang pantas menjadi acuan dan motivasi Indonesia dalam hal perdamaian?
Negara yang bisa menjadi acuan katakanlah Kanada. Kanada adalah salah satu Negara middle power, bukan super power.
Mengapa Kanada pantas menjadi acuan bagi Indonesia?
Negara ini inisiatifnya cukup tinggi, ketika mereka menginisiasi supaya kita dalam dunia internasional menolak penggunaan ranjau darat dalam perang dan harus dihindarkan untuk perang apapun.
Sistem yang ada dalam PBB sekarang menurut Kanada terlalu lambat dan tidak pernah “muncul”. Akhirnya, Kanada berinisiatif untuk membentuk suatu prinsip, dimana Kanada mengumpulkan banyak Negara di dunia ini, untuk menyetujui suatu prinsip yang disebut Responsibility To Protect (RtoP). Jadi, kalau ada kerusuhan di suatu Negara, pemerintahnya tidak bisa mengatasi situasi, dan banyak manusia terutama orang sipil terancam, disitulah kita harus melakukan intervensi, tanpa diminta pun kita harus mengirim pasukan tanpa melewati dewan keamanan PBB.
Peran-peran seperti itulah yang kita inginkan, Indonesia juga bisa melakukan hal seperti itu. Terutama di tingkat Asia Tenggara. Saya rasa kita harus banyak belajar dari Kanada.




Apakah Pemerintah Indonesia sudah fokus dalam menangani kasus di Negaranya sendiri? Karena, seperti yang saya lihat Indonesia banyak mengirimkan pasuka-pasukan perdamaian ke Negara-negara konflik di dunia, sedangkan di Indonesia sendiri apakah ada pasukan seperti itu?
Saya pikir tidak adil kalau kita mengatakan bahwa pemerintah tidak fokus dalam menangani perdamaian di Negaranya sendiri. Mungkin, metodenya saja yang belum tepat dan kurang tuntas.
Seperti apa metode yang tepat itu?
Metode yang tepat adalah pemahaman terhadap konflik yang bagus. Sebelum kita menyelesaikan suatu konflik itu, kita harus memahami dulu konflik apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, barulah kita dapat menyelesaikannya.
Apa harapan Anda untuk perdamaian di Indonesia maupun di seluruh dunia kedepannya?
Saya harap kita bisa hidup dengan nyaman. Jadi, pemerintah Indonesia harus berupaya keras dalam menyelesaikan konflik. Ketika ada pertikaian terjadi, selesaikanlah sampai tuntas masalah tersebut, tidak berhenti pada peace making dan peace keeping saja tetapi peace building nya harus dijalankan juga. Artinya, memulihkan komunikasi antar masyarakat yang berkonflik kembali ke normal dan menghilangkan trauma-trauma yang terjadi pasca konflik dan perlunya ahli-ahli psikologi dan komunikasi dalam hal ini. (Elizabeth Shinta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar