Saya sangat senang sekali
membaca pengalaman-pengalaman unik yang ada di buku ini.Pengalaman-pengalaman
yang tidak kita peroleh di perkuliahan, tapi kita peroleh saat di lapangan. Ternyata
begitu sulitnya medan yang harus ditempuh oleh seorang wartawan dalam memburu
beritanya. Di mana mereka
harus melakukan pilihan terhadap apa yang mereka hadapi, terus maju mengambil
risiko yang ada meskipun risiko itu sangat besar, lelah dan letih bukan lagi
menjadi alasan mereka menghentikan aksi perburuannya, dan keinginan-keinginan
besar mereka untuk membangun karakter seorang jurnalis yang benar itu seperti
apa.
Judul-judul yang diberikan
pada setiap bagian cerita sangatlah unik. Mampu menggungah rasa ingin tahu
kita, dan berkata “apasih isi ceritanya?.” Berawal dari judul yang menarik,
saya rasa ini keutamaan pertama yang dimiliki oleh buku ini.Meski tidak semua
judul menarik berisikan cerita yang menarik pula.Pada awal-awal bagian cerita,
dikemas secara menarik dengan pengalaman yang sangat menarik juga.Saya pribadi
merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut. Karena cerita ini dibuat
dari pengalaman mereka masing-masing, jadi bagi saya yang membacanya, tidak
hanya sekadar cerita pengalaman saja, namun juga di sana tersirat ilmu-ilmu
tentang jurnalisme yang ada di buku Sembilan
Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, seperti kewajiban
pertama seorangjurnalis adalah kebenaran. Dalam buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya (JJS) ini menceritakan tentang
elemen-elemen jurnalisme itu sendiri melalui pengalaman-pengalaman para
penulisnya.
Banyak hal lain yang belum
kita ketahui kebenarannya, namun bisa kita ketahui dari buku JJS ini. Saya
masih ingat dengan cerita Adi Marsiela yang bertahan dengan statusnya sebagai
wartawan koresponden.Ternyata wartawan koresponden dianggap sebelah mata oleh
media tempat mereka bekerja. Perlakuan tidak adil pun mereka dapatkan, seperti
pemberian upah yang menurut saya tidak sepadan dengan apa yang mereka hasilkan.
Karena masalah itu, banyak wartawan yang “menitip berita” ke temannya, dan
melakukan pengkloningan berita agar berita yang mereka peroleh semakin banyak.
Dengan banyaknya berita yang mereka peroleh, maka pundi-pundi di kantong mereka
pun akan semakin bertambah.
Di buku JJS ini tidak
semua penulisnya berprofesi sebagai wartawan, ada pua yang tadinya pemain, dan
sekarang menjadi wasit. Menurut pengakuan dari penulis sendiri, media massa
elektronik sekarang lebih mengutamakan rating
padahal seharusnya mereka memenuhi hak konstitusional warga negara untuk
memperoleh informasi. Buruknya media massa di Indonesia juga banyak diungkapkan
di buku ini. Di mana surat kabar tidak dapat lagi mengandalkan sirkulasi maupun
loyalitas pembaca, melainkan bergantung pada iklan. Dalam buku Jurnalistik Teori dan Praktik, pada Bab
5 mengenai Kendala Menghimpun Berita. Ada beberapa kendala yang akan didapatkan
oleh seorang wartawan, salah satunya kendala internal. Kendala internal ini
hampir terjadi di semua media massa di Indonesia. Kapitalisme menjadi dasar
dari kendala ini. Untuk mengoperasikan suatu bisnis diperlukan uang, dan
orang-orang yang menguasai suatu uang memiliki kepentingan yang sama juga.
Begitulah yang terjadi di media kita. Untuk terbit, dibutuhkan dana yang tidak
sedikit, sehingga banyak media massa kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
memiliki uang dalam jumlah yang banyak. Seringkali hal ini mereka manfaatkan
untuk mengendalikan media massa.Dan hal itulah yang membuat sebagian besar
jurnalis kita memiliki keberpihakan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Elemen jurnalisme yang lain pun dibahas di buku ini. Pada bagian cerita media literacy dibahas mengenai elemen
jurnalisme kesepuluh yaitu masyarakat wajib bertanggung jawab dalam hal-hal
yang terkait dengan berita. Melaui media
literacy, kita bisa mengubah cara pandang masyarakat kita mengenai sebuah
tayangan, sebuah berita yang ada di media massa agar mereka bisa lebih kritis
saat berhadapan dengan media. Banyak tayangan-tayangan atau berita-berita yang
tidak baik dikonsumsi oleh masyarakat, namun tidak sedikit masyarakat
mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak.
Elemen kelima pun diterapkan dalam pengalaman jurnalis di buku JJS,
memantau kekuasaan.Kisah yang sangat cocok dengan elemen ini adalah kisah dari
Sri Lestari yang menulis soal kondisi hutan di Indonesia dimana kebijakan
pemerintah yang hanya memberikan hak penguasaan hutan kepada pengusaha.Cerita
dari Rieska Wulandari juga termasuk salah satu contoh bahwa seorang jurnalis
harus menjadi watchdog para pemilik
kekuasaan.
Dari kisah-kisah di JJS ini terlihat bahwa seorang wartawan harus memiliki
wawasan yang luas. Bila akan mewawancarai narasumber, kita harus mengetahui
istilah-istilah yang ada di bidang tersebut agar kita tidak bingung saat
melakukan wawancara. Ilmu tentang medan apa yang akan kita lalui nanti, juga
patut untuk diperhatikan atau diketahui oleh seorang wartawan saat akan meliput
agar keselamatannya tetap terjamin. Maka
dari itu, sebaiknya sebelum melakukan liputan, seorang wartawan harus mempersiapkan
segala apa saja yang nanti ia butuhkan, bukan hanya persiapan alat-alat
liputan, tapi juga prosedur keamanan saat melakuan liputan, apalagi bila medan
liputannya terdapat di zona jauh dari kata aman.
Di samping banyaknya
kelebihan dari buku ini, ada juga banyak kekurangan yang terlihat.Mungkin
karena kurangnya ketelitian dari penyunting, sehingga banyak penulisan yang
salah.Dalam buku EYD terdapat aturan setelah tanda titik seharusnya diawali
dengan huruf kapital, namun pada halaman 138 dan 139, sebagai contohnya, di
sana terdapat kalimat “…tidak punya koresponden. kebanyakan dari mereka
diangkat sebagai…” Dan ada pula di halaman 139, “…pembentukan serikat pekerja
tersebut.para pendiri dan pengurus serikat pekerja…” Selain penulisan huruf
kapital, ada juga beberapa kata yang seharusnya dipisahkan atau menggunakan
spasi di antara kata. Seperti di halaman 117, ada kata “tersebuttidak”,
seharusnya dituliskan secara dipisah menjadi “tersebut tidak”, dan halaman 136,
“mempertimbangkanasas” yang seharusnya juga dipisahkan menjadi
“mempertimbangkan asas”.
Ada di satu kisah yang
benar-benar sulit untuk saya pahami karena kurangnya kosakata bahasa yang saya
punya.Dalam cerita “Menguji Nyali di Ranah Digital”, banyak sekali kosakata
yang tidak saya mengerti, seperti positioning,
engine, traffic, dan netter.Istilah-istilah
yang menggunakan bahasa asing tanpa adanya keterangan arti seringkali membuat
saya bingung.
Untuk keseluruhan, saya
menyukai buku ini, meski kisah di akhir-akhir bab sedikit tidak menarik. Buku
ini mampu menggugah rasa semangat saya sebagai calon jurnalis.Dan menurut saya,
buku ini bagus dijadikan buku pegantar mata kuliah di jurnalistik, karena
dengan pengalaman-pegalaman yang tertuang dalam buku ini, tersirat banyak ilmu
yang bisa kita dapatkan, terutama ilmu dari sepuluh elemen jurnalisme. (Dina Aqmarina Y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar