Jumat, 09 November 2012

Apresiasi Buku "Jurnalis, Jurnalisme dan Saya"



Saya sangat senang sekali membaca pengalaman-pengalaman unik yang ada di buku ini.Pengalaman-pengalaman yang tidak kita peroleh di perkuliahan, tapi kita peroleh saat di lapangan. Ternyata begitu sulitnya medan yang harus ditempuh oleh seorang wartawan dalam memburu beritanya. Di mana mereka harus melakukan pilihan terhadap apa yang mereka hadapi, terus maju mengambil risiko yang ada meskipun risiko itu sangat besar, lelah dan letih bukan lagi menjadi alasan mereka menghentikan aksi perburuannya, dan keinginan-keinginan besar mereka untuk membangun karakter seorang jurnalis yang benar itu seperti apa.
Judul-judul yang diberikan pada setiap bagian cerita sangatlah unik. Mampu menggungah rasa ingin tahu kita, dan berkata “apasih isi ceritanya?.” Berawal dari judul yang menarik, saya rasa ini keutamaan pertama yang dimiliki oleh buku ini.Meski tidak semua judul menarik berisikan cerita yang menarik pula.Pada awal-awal bagian cerita, dikemas secara menarik dengan pengalaman yang sangat menarik juga.Saya pribadi merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut. Karena cerita ini dibuat dari pengalaman mereka masing-masing, jadi bagi saya yang membacanya, tidak hanya sekadar cerita pengalaman saja, namun juga di sana tersirat ilmu-ilmu tentang jurnalisme yang ada di buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, seperti kewajiban pertama seorangjurnalis adalah kebenaran. Dalam buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya (JJS) ini menceritakan tentang elemen-elemen jurnalisme itu sendiri melalui pengalaman-pengalaman para penulisnya.
Banyak hal lain yang belum kita ketahui kebenarannya, namun bisa kita ketahui dari buku JJS ini. Saya masih ingat dengan cerita Adi Marsiela yang bertahan dengan statusnya sebagai wartawan koresponden.Ternyata wartawan koresponden dianggap sebelah mata oleh media tempat mereka bekerja. Perlakuan tidak adil pun mereka dapatkan, seperti pemberian upah yang menurut saya tidak sepadan dengan apa yang mereka hasilkan. Karena masalah itu, banyak wartawan yang “menitip berita” ke temannya, dan melakukan pengkloningan berita agar berita yang mereka peroleh semakin banyak. Dengan banyaknya berita yang mereka peroleh, maka pundi-pundi di kantong mereka pun akan semakin bertambah.
Di buku JJS ini tidak semua penulisnya berprofesi sebagai wartawan, ada pua yang tadinya pemain, dan sekarang menjadi wasit. Menurut pengakuan dari penulis sendiri, media massa elektronik sekarang lebih mengutamakan rating padahal seharusnya mereka memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Buruknya media massa di Indonesia juga banyak diungkapkan di buku ini. Di mana surat kabar tidak dapat lagi mengandalkan sirkulasi maupun loyalitas pembaca, melainkan bergantung pada iklan. Dalam buku Jurnalistik Teori dan Praktik, pada Bab 5 mengenai Kendala Menghimpun Berita. Ada beberapa kendala yang akan didapatkan oleh seorang wartawan, salah satunya kendala internal. Kendala internal ini hampir terjadi di semua media massa di Indonesia. Kapitalisme menjadi dasar dari kendala ini. Untuk mengoperasikan suatu bisnis diperlukan uang, dan orang-orang yang menguasai suatu uang memiliki kepentingan yang sama juga. Begitulah yang terjadi di media kita. Untuk terbit, dibutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga banyak media massa kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki uang dalam jumlah yang banyak. Seringkali hal ini mereka manfaatkan untuk mengendalikan media massa.Dan hal itulah yang membuat sebagian besar jurnalis kita memiliki keberpihakan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Elemen jurnalisme yang lain pun dibahas di buku ini. Pada bagian cerita media literacy dibahas mengenai elemen jurnalisme kesepuluh yaitu masyarakat wajib bertanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Melaui media literacy, kita bisa mengubah cara pandang masyarakat kita mengenai sebuah tayangan, sebuah berita yang ada di media massa agar mereka bisa lebih kritis saat berhadapan dengan media. Banyak tayangan-tayangan atau berita-berita yang tidak baik dikonsumsi oleh masyarakat, namun tidak sedikit masyarakat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak.
Elemen kelima pun diterapkan dalam pengalaman jurnalis di buku JJS, memantau kekuasaan.Kisah yang sangat cocok dengan elemen ini adalah kisah dari Sri Lestari yang menulis soal kondisi hutan di Indonesia dimana kebijakan pemerintah yang hanya memberikan hak penguasaan hutan kepada pengusaha.Cerita dari Rieska Wulandari juga termasuk salah satu contoh bahwa seorang jurnalis harus menjadi watchdog para pemilik kekuasaan.
Dari kisah-kisah di JJS ini terlihat bahwa seorang wartawan harus memiliki wawasan yang luas. Bila akan mewawancarai narasumber, kita harus mengetahui istilah-istilah yang ada di bidang tersebut agar kita tidak bingung saat melakukan wawancara. Ilmu tentang medan apa yang akan kita lalui nanti, juga patut untuk diperhatikan atau diketahui oleh seorang wartawan saat akan meliput agar keselamatannya tetap terjamin. Maka dari itu, sebaiknya sebelum melakukan liputan, seorang wartawan harus mempersiapkan segala apa saja yang nanti ia butuhkan, bukan hanya persiapan alat-alat liputan, tapi juga prosedur keamanan saat melakuan liputan, apalagi bila medan liputannya terdapat di zona jauh dari kata aman.
Di samping banyaknya kelebihan dari buku ini, ada juga banyak kekurangan yang terlihat.Mungkin karena kurangnya ketelitian dari penyunting, sehingga banyak penulisan yang salah.Dalam buku EYD terdapat aturan setelah tanda titik seharusnya diawali dengan huruf kapital, namun pada halaman 138 dan 139, sebagai contohnya, di sana terdapat kalimat “…tidak punya koresponden. kebanyakan dari mereka diangkat sebagai…” Dan ada pula di halaman 139, “…pembentukan serikat pekerja tersebut.para pendiri dan pengurus serikat pekerja…” Selain penulisan huruf kapital, ada juga beberapa kata yang seharusnya dipisahkan atau menggunakan spasi di antara kata. Seperti di halaman 117, ada kata “tersebuttidak”, seharusnya dituliskan secara dipisah menjadi “tersebut tidak”, dan halaman 136, “mempertimbangkanasas” yang seharusnya juga dipisahkan menjadi “mempertimbangkan asas”.
Ada di satu kisah yang benar-benar sulit untuk saya pahami karena kurangnya kosakata bahasa yang saya punya.Dalam cerita “Menguji Nyali di Ranah Digital”, banyak sekali kosakata yang tidak saya mengerti, seperti positioning, engine, traffic, dan netter.Istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing tanpa adanya keterangan arti seringkali membuat saya bingung.
Untuk keseluruhan, saya menyukai buku ini, meski kisah di akhir-akhir bab sedikit tidak menarik. Buku ini mampu menggugah rasa semangat saya sebagai calon jurnalis.Dan menurut saya, buku ini bagus dijadikan buku pegantar mata kuliah di jurnalistik, karena dengan pengalaman-pegalaman yang tertuang dalam buku ini, tersirat banyak ilmu yang bisa kita dapatkan, terutama ilmu dari sepuluh elemen jurnalisme. (Dina Aqmarina Y)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar