Jumat, 09 November 2012

Bedah Buku "Wawancara Imajiner dengan Bung Karno"



Jatinangor-Kamis (8/11) Himpunan Mahasiswa (HIMA)  Ilmu Pemerintahan (IP)  Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Padjajaran (Unpad) menyelenggarakan bedah buku bertemakan “Wawancara Imajiner Dengan Bung Karno. Christianto Wibisono sebagai penulis buku turut hadir dalam acara ini, selain itu terdapat pembicara lainnya yaitu Iman Soleh, dosen Ilmu Pemerintahan Unpad, Andi M. Nurdin selaku perwakilan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unpad. Selain itu acara yang dimoderatori oleh Romi sebagai perwakilan dari “Gramedia” dan “Layar Kita” ini juga mengundang Budiartono Shambazy, wartawan senior “Kompas”, namun ia berhalangan hadir karena sedang melakukan liputan pemilihan presiden Amerika Serikat. 


Christianto Wibisono (kiri), Iman Sholeh, dan Andi M. Nurdin



Acara yang berlangsung di  lantai dua, gedung D, FISIP Unpad Jatinangor ini terselenggara atas kerjasama HIMA IP, Perpustakaan “Batu Api”, “Gramedia”, dan “Layar Kita”. Bedah buku dijadwalkan mulai pada pukul  09.00 WIB ini mundur satu jam karena Christianto Wibisono terlambat hadir. Acara yang berlangsung hingga pukul 12.30 WIB ini berjalan cukup lancar namun sedikit mengalami gangguan teknis mulai dari masalah microphone hingga padamnya listrik saat diskusi tengah berlangsung.
Terlihat antusias peserta cukup besar dilihat dari banyaknya mahasiswa yang ingin mengajukan pertanyaan kepada penulis yang karyanya pernah dibredel pada rezim Soeharto ini. Para  mahasiwa IP pun menanggapi positif acara ini. Dodi, mahasiswa FISIP Unpad (2011) berpendapat, “Menurut saya ini bagus untuk pengalaman mahasiswa, kata-kata bung Chris tentang Soekarno masih relevan dengan keadaan pemerintahan saat ini”. Hal serupa diungkapkan oleh Nana, mahasiswa IP FISIP, “Dari sisi tema menarik karena sesuai dengan kajian yang sedang saya dalami dalam IP, dan Soekarno salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh Indonesia”.
Christianto selaku bintang tamu utama mengaku terkesan dengan masih adanya minat mahasiswa pada suasana politik, “Saya ingin mengajak generasi muda untuk sadar dan menganggap politik sebagai sesuatu yang sportif”. Ia pun mengungkapkan sejumlah harapan terhadap mahasiswa Unpad, “saya puas dengan acara ini dan mudah-mudahan dan penyelenggara dan Unpad bisa maju terus dengan ini untuk mengembangkan, kita akan bertemu terus lebih sering, supaya mencari pemimpin indonesia yang tepat, supaya di umur kita yang seratus betul-betul kita menjadi nomor empat secara kualitas” (Fauziyah Alhafizhah Kamil dan Elizabeth Shinta).



Lainnya:

Foto: Gedung Merdeka


Minggu (4/11), Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika No.65 Bandung, terlihat sepi. Hanya ada beberapa pedagang tahu gejrot yang berjualan di sekitar Gedung Merdeka. Biasanya pada malam minggu, banyak sekumpulan keluarga maupun anak muda yang berada di depan Gedung Merdeka, hanya untuk sekedar foto-foto ataupun bersantai di depan Gedung Merdeka. Gedung Merdeka merupakan salah satu “Trademark” Kota Bandung. (Elizabeth Shinta)

Apresiasi Buku "Jurnalis, Jurnalisme dan Saya"



Saya sangat senang sekali membaca pengalaman-pengalaman unik yang ada di buku ini.Pengalaman-pengalaman yang tidak kita peroleh di perkuliahan, tapi kita peroleh saat di lapangan. Ternyata begitu sulitnya medan yang harus ditempuh oleh seorang wartawan dalam memburu beritanya. Di mana mereka harus melakukan pilihan terhadap apa yang mereka hadapi, terus maju mengambil risiko yang ada meskipun risiko itu sangat besar, lelah dan letih bukan lagi menjadi alasan mereka menghentikan aksi perburuannya, dan keinginan-keinginan besar mereka untuk membangun karakter seorang jurnalis yang benar itu seperti apa.
Judul-judul yang diberikan pada setiap bagian cerita sangatlah unik. Mampu menggungah rasa ingin tahu kita, dan berkata “apasih isi ceritanya?.” Berawal dari judul yang menarik, saya rasa ini keutamaan pertama yang dimiliki oleh buku ini.Meski tidak semua judul menarik berisikan cerita yang menarik pula.Pada awal-awal bagian cerita, dikemas secara menarik dengan pengalaman yang sangat menarik juga.Saya pribadi merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut. Karena cerita ini dibuat dari pengalaman mereka masing-masing, jadi bagi saya yang membacanya, tidak hanya sekadar cerita pengalaman saja, namun juga di sana tersirat ilmu-ilmu tentang jurnalisme yang ada di buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, seperti kewajiban pertama seorangjurnalis adalah kebenaran. Dalam buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya (JJS) ini menceritakan tentang elemen-elemen jurnalisme itu sendiri melalui pengalaman-pengalaman para penulisnya.
Banyak hal lain yang belum kita ketahui kebenarannya, namun bisa kita ketahui dari buku JJS ini. Saya masih ingat dengan cerita Adi Marsiela yang bertahan dengan statusnya sebagai wartawan koresponden.Ternyata wartawan koresponden dianggap sebelah mata oleh media tempat mereka bekerja. Perlakuan tidak adil pun mereka dapatkan, seperti pemberian upah yang menurut saya tidak sepadan dengan apa yang mereka hasilkan. Karena masalah itu, banyak wartawan yang “menitip berita” ke temannya, dan melakukan pengkloningan berita agar berita yang mereka peroleh semakin banyak. Dengan banyaknya berita yang mereka peroleh, maka pundi-pundi di kantong mereka pun akan semakin bertambah.
Di buku JJS ini tidak semua penulisnya berprofesi sebagai wartawan, ada pua yang tadinya pemain, dan sekarang menjadi wasit. Menurut pengakuan dari penulis sendiri, media massa elektronik sekarang lebih mengutamakan rating padahal seharusnya mereka memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Buruknya media massa di Indonesia juga banyak diungkapkan di buku ini. Di mana surat kabar tidak dapat lagi mengandalkan sirkulasi maupun loyalitas pembaca, melainkan bergantung pada iklan. Dalam buku Jurnalistik Teori dan Praktik, pada Bab 5 mengenai Kendala Menghimpun Berita. Ada beberapa kendala yang akan didapatkan oleh seorang wartawan, salah satunya kendala internal. Kendala internal ini hampir terjadi di semua media massa di Indonesia. Kapitalisme menjadi dasar dari kendala ini. Untuk mengoperasikan suatu bisnis diperlukan uang, dan orang-orang yang menguasai suatu uang memiliki kepentingan yang sama juga. Begitulah yang terjadi di media kita. Untuk terbit, dibutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga banyak media massa kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki uang dalam jumlah yang banyak. Seringkali hal ini mereka manfaatkan untuk mengendalikan media massa.Dan hal itulah yang membuat sebagian besar jurnalis kita memiliki keberpihakan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Elemen jurnalisme yang lain pun dibahas di buku ini. Pada bagian cerita media literacy dibahas mengenai elemen jurnalisme kesepuluh yaitu masyarakat wajib bertanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Melaui media literacy, kita bisa mengubah cara pandang masyarakat kita mengenai sebuah tayangan, sebuah berita yang ada di media massa agar mereka bisa lebih kritis saat berhadapan dengan media. Banyak tayangan-tayangan atau berita-berita yang tidak baik dikonsumsi oleh masyarakat, namun tidak sedikit masyarakat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak.
Elemen kelima pun diterapkan dalam pengalaman jurnalis di buku JJS, memantau kekuasaan.Kisah yang sangat cocok dengan elemen ini adalah kisah dari Sri Lestari yang menulis soal kondisi hutan di Indonesia dimana kebijakan pemerintah yang hanya memberikan hak penguasaan hutan kepada pengusaha.Cerita dari Rieska Wulandari juga termasuk salah satu contoh bahwa seorang jurnalis harus menjadi watchdog para pemilik kekuasaan.
Dari kisah-kisah di JJS ini terlihat bahwa seorang wartawan harus memiliki wawasan yang luas. Bila akan mewawancarai narasumber, kita harus mengetahui istilah-istilah yang ada di bidang tersebut agar kita tidak bingung saat melakukan wawancara. Ilmu tentang medan apa yang akan kita lalui nanti, juga patut untuk diperhatikan atau diketahui oleh seorang wartawan saat akan meliput agar keselamatannya tetap terjamin. Maka dari itu, sebaiknya sebelum melakukan liputan, seorang wartawan harus mempersiapkan segala apa saja yang nanti ia butuhkan, bukan hanya persiapan alat-alat liputan, tapi juga prosedur keamanan saat melakuan liputan, apalagi bila medan liputannya terdapat di zona jauh dari kata aman.
Di samping banyaknya kelebihan dari buku ini, ada juga banyak kekurangan yang terlihat.Mungkin karena kurangnya ketelitian dari penyunting, sehingga banyak penulisan yang salah.Dalam buku EYD terdapat aturan setelah tanda titik seharusnya diawali dengan huruf kapital, namun pada halaman 138 dan 139, sebagai contohnya, di sana terdapat kalimat “…tidak punya koresponden. kebanyakan dari mereka diangkat sebagai…” Dan ada pula di halaman 139, “…pembentukan serikat pekerja tersebut.para pendiri dan pengurus serikat pekerja…” Selain penulisan huruf kapital, ada juga beberapa kata yang seharusnya dipisahkan atau menggunakan spasi di antara kata. Seperti di halaman 117, ada kata “tersebuttidak”, seharusnya dituliskan secara dipisah menjadi “tersebut tidak”, dan halaman 136, “mempertimbangkanasas” yang seharusnya juga dipisahkan menjadi “mempertimbangkan asas”.
Ada di satu kisah yang benar-benar sulit untuk saya pahami karena kurangnya kosakata bahasa yang saya punya.Dalam cerita “Menguji Nyali di Ranah Digital”, banyak sekali kosakata yang tidak saya mengerti, seperti positioning, engine, traffic, dan netter.Istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing tanpa adanya keterangan arti seringkali membuat saya bingung.
Untuk keseluruhan, saya menyukai buku ini, meski kisah di akhir-akhir bab sedikit tidak menarik. Buku ini mampu menggugah rasa semangat saya sebagai calon jurnalis.Dan menurut saya, buku ini bagus dijadikan buku pegantar mata kuliah di jurnalistik, karena dengan pengalaman-pegalaman yang tertuang dalam buku ini, tersirat banyak ilmu yang bisa kita dapatkan, terutama ilmu dari sepuluh elemen jurnalisme. (Dina Aqmarina Y)

Drs. Makmur Keliat Ph. D: Ya Harus Dapat ‘Nobel’ Dulu Dari Indonesia



Nobel yang biasanya diterima oleh seorang tokoh atau sebuah organisasi, tahun ini terlihat berbeda karena peraih nobel perdamaian 2012 adalah kesatuan negara Uni Eropa (UE) yang mengakibatkan pro dan kontra dari berbagai pihak karena mereka merasa bahwa UE tidak berhasil memakmurkan negara mereka sendiri dari krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan kekacauan sosial sehingga banyak perang yang terjadi. Bahkan menurut Nigel Farage, pemimpin partai independen, Komite Norwegia memberikan penghargaan nobel kepada UE hanya sebagai “rasa humor” belaka karena UE telah menyebabkan kemiskinan dan pengangguran.
Lain halnya dengan Makmur Keliat. “Krisis keuangan di Eropa jangan dibayangkan seperti krisis keuangan yang dialami Indonesia pada tahun 1998. Kita itu tidak memiliki mekanisme regional untuk mengatasi krisis itu sangat berbeda dengan Uni Eropa,” ujar Makmur. Bertolak belakang dengan pendapat sebagian besar orang, Makmur justru menganggap bahwa UE pantas pendapatkan penghargaan tersebut karena UE memiliki banyak prestasi besar. Dan menurutnya, para peraih nobel bukan berarti mereka telah bisa menghilangkan sebab-sebab terjadinya konflik kekerasan, melainkan mereka melakukan sesuatu agar setidaknya kekerasan itu tidak terjadi.
Ditemui di Departemen Jurusan Hubungan Internasional (HI), Gedung Nusantara II, Universitas Indonesia, Senin, 5 November 2012, pukul 13.00, Makmur Keliat, salah satu dosen HI menuturkan pendapat-pendapat lainnya kepada saya selama 36 menit saat wawancara berlangsung seputar peraih nobel perdamaian 2012 dan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia bila ingin melebarkan sayapnya di ranah nobel.



 Nobel itu kan biasanya diberikan kepada tokoh atau organisasi, tapi buat nobel perdamaian 2012 ini yang menerimanya itu negara. Bagaimana pendapat Bapak?
Ya wajar saja kalau yang dapat negara, tidak masalah. Sebenarnya perdamaian itu definisinya bisa banyak, setidaknya ada dua konsep perdamaian di Indonesia, yang pertama perdamaian dalam konteks ketiadaan kekerasan. Yang kedua kesejahteraan, maknanya menghilangkan sebab-sebab yang memunculkan konflik kekerasan. Dalam pengertian yang pertama, indikatornya sangat jelas yaitu terhentinya konflik bersenjata. Sementara dalam pengertian ke dua, perdamaian itu lebih luas, dilihat pada sumber-sumber munculnya konflik bersenjata.
Uni Eropa kan sedang mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan kekacauan sosial, tapi ia memperoleh penghargaan nobel dan banyak yang tidak setuju dengan hal itu. Bagaimana pendapat Bapak?
Prestasi terbesar Uni Eropa sebenarnya adalah kawasan itu tidak pernah terlibat perang di antara anggotanya dan tidak pernah ada konflik kekerasan yang derajat kecil selama puluhan tahun terakhir. Saya kira, itu merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Kalau dilihat dalam konteks negative piece (perdamaian negatif, tiadanya kekerasan), maka apa yang telah dicapai oleh Uni Eropa sangat luar biasa. Berbeda dengan kasus kawasan Asia Selatan antara India dengan Pakistan, kerja sama regional di Asia Selatan sangat berbeda dengan Uni Eropa. Kita bisa melihat, ada konflik-konflik yang cukup memakan korban. Demikian juga di Asia Tenggara, memang tidak ada konflik bersenjata yang besar, namun ada kasus kekerasan, potensi kekerasan seperti Malaysia dengan Indonesia. Kalau kita bandingkan dengan beberapa kawasan ini, maka prestasi Uni Eropa itu luar biasa. Terkait dengan krisis ekonomi yang dihadapi oleh Uni Eropa, saya kira tidak separah seperti yang dibayangkan. Jadi, krisis keuangan di Eropa jangan dibayangkan seperti krisis keuangan yang dialami Indonesia pada tahun 1998. Kita itu tidak memiliki mekanisme regional untuk mengatasi krisis itu sangat berbeda dengan Uni Eropa. Uni Eropa jauh lebih baik karena memiliki bank central Eropa, mereka memiliki mata uang tunggal, dan ketika krisis terjadi, saya kira kesiapan mereka secara kelembagaan jauh lebih baik dibandingkan dengan Asia ada tahun 1998. Jadi, krisis keuangan di Uni Eropa tidak mengakibatkan kelaparan dan tidak terjadi pengangguran yang sangat luar biasa.
Jadi, bapak tidak setuju bila banyak yang menentang Uni Eropa menerima nobel perdamaian dunia, tapi ia terkena krisis ekonomi?
Saya kira krisis ekonomi itu sesuatu yang lebih merupakan gejala global.
Alasan dipilihnya Uni Eropa sebagai peraih nobel karena menurut Komite Norwegia nobel perdamaian itu untuk yang masih menyelesaikan masalahnya, bukan penyelesaian masalahnya. Berarti para pemenang nobel itu belum tentu punya tindakan konkret yang menunjukkan mereka berhasil melakukan perdamaian dunia?
Kalau untuk Uni Eropa itu luar biasa, mereka percaya pada demokrasi, hak asasi manusia dan salah satu yang hampir tidak terbantahkan, tidak ada anggota Uni Eropa yang tidak berlandaskan pada penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi. Itu sebabnya Turki sampai sekarang tidak menjadi anggota Uni Eropa. Aturan yang diberikan oleh Uni Eropa adalah karena masih ada persoalan kekerasan di sana sehingga Uni Eropa merasa Turki belum layak untuk menjadi anggota Uni Eropa walaupun negeri itu berdemokrasi.
Kriteria apa yang harus dipenuhi oleh seseorang atau organisasi agar ia layak mendapatkan nobel perdamaian?
Saya kira dedikasi ya. Dedikasi itu you do something with the entire of your heart. Seperti Palang Merah, itu kan dedikasi yang dilakukan tanpa pamrih yang kadang membahayakan jiwanya sendiri. Bukan sesuatu yang dilakukan dengan begitu mudah. Yang kedua, coba lakukan ketika orag mengatakan itu tidak mungkin, dan yang ketiga itu dilakukan tanpa pamrih. Saya kira itu.
Kalau menurut bapak, apakah dengan diberinya penghargaaan nobel, mereka membantu menyelesaikan masalah perdamaian dunia tidak? Sebab ada penerima nobel seperti San Suu Kyi yang menggembar-gemborkan masalah HAM di Myanmar, tapi ia sendiri menutup mata atas apa yang menimpa Rohingya.
Begini, para peraih nobel itu bukan berarti bahwa mereka bisa menghilangkan sebab-sebab terjadinya konflik kekerasan, tapi mereka melakukan sesuatu agar setidaknya kekerasan itu tidak terjadi, tapi tidak menghilangkan sebab-sebab kekerasan. Kan dua hal yang berbeda to? Jusuf Kalla misalnya, kan dianggap berperan penting untuk menghentikan kekerasan itu. Tapi dia bukan orang yang bisa menghilangkan sebab-sebab munculnya kekerasan. Saya kira dua hal yang harus dibedakan. Bukan berarti dia pemeraih nobel, jadi langsung terjadi perdamaian. Tidak seperti itu.
Jadi, gunanya nobel perdamaian itu utuk apa?
Untuk menunjukkan sesuatu itu masih bisa dilakukan.
Bukan berarti bisa diatasi
Iya. Sebab-sebab orang melakukan kekerasan kan banyak, karena masalah ekonomi, bisa masalah militer, bisa masalah perdaulatan yang hadir bersama kita. Pemenang hadiah nobel bukan berarti mereka bisa menghilangkan sebab-sebab itu, tetapi bagaimana membuat sebab-sebab itu tidak muncul dalam suatu konflik kekerasan.
Menurut Bapak, nobel itu ada kepentingan politiknya tidak?
Tentu saja ada. Biasanya pemenang hadiah nobel itu untuk tokoh-tokoh yang memperomosikan deokrasi dengan hak asasi manusia.
Kenapa hanya yang mempromosikan hak asasi manusia dan...
Karena demokrasi dan hak asasi manusia kan nilai-nilai yang mempromosikan anti kekerasan. Orang yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia pasti tidak akan mendukung penggunaan kekerasan untuk mewujudkan perdamaian.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi perdamaian dunia?
Banyak sekali, tapi secara umum, ada dua hal. Pertama, ketiadaan kekerasan, ada yang menyebabkan kekerasan bisa dibawa pada dua hal, faktor-faktor militer dan faktor-faktor nonmiliter. Faktor militer itu misalnya konflik teritorial yang kemudian merujuk pada perebutan wilayah. Yang kedua, faktor nonmiliter, misalnya perebutan sumber daya.
Hubungannya masalah pangan dengan perdamaian dunia apa, Pak?
Konflik sumber daya alam, yang non militer itu.
Gara-gara pangan, bisa jadi perang ya, Pak?
Bisa saja, tetapi sebenarnya banyak yang mengatakan bukan ketiadaan pangan yang menyebabkan perang, tapi kemampuan orang untuk mendapatkan pangan itu yang tidak ada. Misalnya begini, bisa terjadi orang tidak mendapatkan pangan yang cukup di dalam suatu wilayah yang subur karena ia tidak mempunyai uang untuk membelinya bukan karena pangannya tidak ada. Karena itu kemampuan daya belinya yang harus dibuat
Ada tidak, Pak hubungan antara kebebasan dengan kreatifitas?
Wah, enggak tahu saya kalau itu.
Kita kan sudah bebas dari penjajahan maupun dari orde baru tapi megapa kita malah tidak berkembang? Tidak ada yang mendapatkan nobel?
Kita tidak berkembang pesat, dibandingkan dengan masa saya dulu kalian ini sebenarnya luar biasa kemajuan yang kalian alami. Cuma memang kalau dibandingkan dengan pihak lain (negara maju) ya masih terus tertinggal, tapi bukan berarti kalian tidak bergerak, kalian juga bergerak pesat sekali. Yang menjadi masalah di kita sumber daya manusianya, di beberapa wilayah itu ada yang sangat tertinggal. Jadi sumber daya manusia harus lebih dipromosikan agar kita bisa mencapai kinerja ekonomi yang bagus. Tidak ada perkembangan teknologi yang baik kalau sumber dayanya tidak baik. Namun, membangun sumber daya itu tidak bisa cepat.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia?
Pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan, jadi tidak hanya sekadar lulus SD, tapi juga terus berlangsung sampai ke universitas.
Tapi, tingkat keinginan generasi muda akan kuliah itu tidak tinggi, Pak...
Enggak. Enggak. Saya tahu benar, kalian ini tinggi minat sekolahnya.
Tapi, rata-rata itu bila ditanya, pasti lebih memilih untuk kerja daripada...
Ya, tapi kan itu hasil dari pendidikan, harusnya begitu, bukan berarti anak SD harus kerja. Jadi, sebaiknya memang harus mendapatkan pendidikan di atas SMA. Kalau tidak, ya mau gimana?. Sudah itu, sebelum dia masuk SD, mungkin gizinya kurang waktu dia masih balita kalau gizinya kurang waktu balita itu, ya dampaknya nanti 15-20 tahun mendatang, enggak bisa lama mikir dia. Kalau sudah mikir itu ngantuk dia macam saya. Ha ha ha.
Berarti pendidikan dan nilai gizi dulu yang harus diperbaiki?
Yaiya kan, itu kan uang keluar. Yang namanya pembangunan manusia baru akan dipetik keuntungannya setelah 15-20 tahun dan selama 15-20 tahun itu dia kan sekolah terus, uang keluar terus, saya kira itu yang menjadi masalah kita.
Menurut Bapak, ada tidak kemungkinan Indonesia memperoleh nobel perdamaian 5 atau 10 tahun ke depan? Sedangkan generasi muda kita ini, ya suka banyak yang tawuran. Itu bagaimana?
Ya itu menjadi tantangan kita. Tapi kalau dilihat secara normal, itu tidak mungkin, kecuali kalau ada sesuatu yang sangat berkembang.
Menurut Bapak, kira-kira kapan kita bisa memperoleh nobel bila dilihat dari kondisi Indonesia seperti ini?
Ya enggak tahu. Kau kira saya ini Tuhan. Ha ha ha.
Menurut Bapak, ada tidak tokoh di Indonesia yang pantas untuk memperoleh penghargaan nobel perdamaian?
Tidak, tidak ada.
Tidak ada? Kenapa memang, Pak?
Ya harus dapat “nobel” dulu dari Indonesia.
Bapak itu kan sering membahas tentang neoliberalisme. Apakah ada kaitannya dengan perdamaian dunia?
Sekarang masalah terbesar itu karena pasar itu sangat kuat, semua orang kalau bisa berbisnis semua dihitung berdasarkan untung-rugi. Kadang ada dalam kehidupan itu tidak untung-rugi, seperti kesetiaan, itu kan bukan sesuatu yang tidak harus dibuat berdasarkan untung-rugi, kemudian sikap patriotik. Jadi, ada beberapa hal yang tidak bisa dibisniskan, seperti kesetiaan, cinta, rasa sayang, pengabdian.
Selaku dosen, apa yang sudah bapak lakukan untuk ikut serta menciptakan perdamaian dunia?
Saya pikir mulai saja dari hal yang terkecil, dari keluarga. Tidak boleh ada kekerasan.
Dari pengajaran Bapak menjadi dosen?
Ya mengajarkan bahwa tidak mudah untuk menciptakan perdamaian. Hal yang paling penting perdamaian itu harus dipahami dari proses dialog dan menyelesaikan semua perbedaan itu melalui perundingan kalau bisa dan jalan-jalan demokratis. (Dina Aqmarina Y)