Bandung,
Minggu (7/10) - Hujan rintik-rintik menemani perjalanan saya menyusuri asrama
tunanetra yang dikelola oleh YayasanPenyantun Wyata Guna di Jl Padajajaran No 52 Bandung. Suara anak-anak
mulai kedengaran ketika memasuki area asrama, dan benar saja ada sekitar enam
anak yang sedang bermain kejar-kejaran. Salah seorang dari mereka yang kemudian
mengantarkan saya ke tempat pembelajaran Al-Quran dengan huruf braille. Ruangan tersebut memiliki panjang sekitar lima meter dan
luas tiga meter dengan dinding berwarna hijau. Terdapat tiga jendela yang
terbuat dari kayu berwarna coklat berbentuk persegi panjang dan fentilasi
berbentuk setengah lingkaran. Gorden berwarna pink tua menutupi setengah jendela mengakibatkan berkurangnya
cahaya yang masuk ke ruangan. Tidak ada lampu yang dinyalakan mungkin karena
orang-orang yang berada diruangan tidak ada yang membutuhkan lampu. Ya,
mereka adalah penderita tunanetra (orang yang tidak dapat melihat).
Saya
disambut dengan jawaban salam dari seorang lelaki berpakaian kemeja biru muda
dan berulit sawo matang. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Nurhalim.
Nurhalim tidak sendirian di ruangan itu, ia ditemani oleh dua orang temannya.
Mereka sedang beristirahat sembari berbincang-bincang ketika saya datang. Saat
saya menanyakan umur nya, Nurhalim tidak tahu pasti berapa, “Saya lahir tahun
1981, saya juga tidak tahu pasti, Neng,” jawabnya. Ia bercerita bahwa ia telah tinggal di asrama
Wiyata Guna sejak September tahun 1998. Lelaki yang mungkin berumur 31 tahun
ini berasal dari Cianjur, tidak jauh memang dari kota Bandung, tetapi Nurhalim
mengaku sangat jarang pulang ke rumah nya di Cianjur, alasannya “ Enak disini
Neng, banyak teman”. Selain itu ia juga sudah terbiasa dengan aktivitas-aktivitas
nya sehari-hari di asrama. Bila
ada waktu senggang ia gunakan untuk menulis metode pembelajaran, ia mengaku
bahwa ia senang mengajar. Kadang ia mendapat permintaan untuk
mengajarkan membaca dan menulis huruf braille secara privat. Selain itu,
Nurhalim juga bekerja sebagai terapi pijat
Nurhalim menjelaskan bahwa di Widya Guna terdapat dua jenis pendidikan bagi
para tunanetra, yaitu pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Pendidikan
formal didapat melalui sekolah dari tingkat SD, SMP, dan SMA, sementara
pendidikan non-formal didapatkan dari latihan kerja/ kejuruan, belajar musik,
bahasa arab, Al-Quran, dan lainnya.
Jam sudah menunjukkan
pukul 15.30 WIB saat itu, para santri mulai berdatangan. Nurhalim bersiap-siap
memulai pengajian. Mereka duduk melingkar, saling bersenda-gurau dengan
menggunakan bahasa sunda sebelum memulai pengajian. Nurhalim membagi-bagikan
Al-Quran juz 26. “Karena huruf Braille ditulis diatas kertas yang lebih tebal,
Al-Quran dibagi-bagi per-juz, tidak seperti Al-Quran biasa,” Ujar Nurhalim.
Al-Quran yang ditulis dengan huruf Braille polos tanpa tulisa bila dilihat dari
jauh, tetapi bila dilihat dari dekat, akan terlihat titik-titik yang menonjol
dari kertas seperti kertas yang ditusuk dengan jarum. Rintik hujan perlahan
menghilang, Nurhalim memulai pengajian, dan saya kembali ke Jatinangor. (Fairuz Rana Ulfah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar